Sebuah rumah di Kampung Babakanpari, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Rumah itu diduga sebagai markas King of The King. Menurut laporan today.line.me (31/01/2020) di dinding salah satu sudut rumah milik seorang warga berinisial H ini terpasang spanduk bergambar lambang serta bertuliskan King of The King MH 101 NST. H juga diduga menjadi pemimpin kelompok tersebut.
Erry Erstanto, Camat Cidahu mengatakan saat ini unsur Muspika sedang menyelidiki soal kehadiran kelompok King Of The King di wilayahnya. Erry menuturkan kabar keberadaan kelompok ini mulai mencuat pada Kamis (30/1/2020) sore. Pemimpin King of The King bernama Moch Harzanto (sebelumnya diinisialkan H) ogah disebut pemimpin. Lelaki tersebut lebih senang disebut sebagai leader dari kelompok King of The King.
Menurut Harzanto, (jabar.suara.com) King Of The King lahir atas dasar perjanjian keuangan internasional Green Hilton Tahun 1963. Dalam perjanjian tersebut, diterbitkan dua sertifikat berbahan kulit bernama 42 dan 45. Sertifikat itu juga terkenal sebagai rekening negara atau rekening presiden pertama RI Sukarno, dengan nomor rekening 080264.
Yang mengejutkan adalah ketika Harzanto menyatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi pernah memakai rekening tersebut. "Bahkan Pak Jokowi pada tahun 2016 sempat menggunakan dan semua perjalanan negara ini menggunakan rekening yang 42, sementara yang 45 belum dipakai, masih ori (orisinal)," kata Harzanto kepada Sukabumiupdate.com jaringan Suara.com di rumahnya, Jumat (31/1/2020). Tentu pernyataan ini sulit untuk dipercaya.
Lebih lanjut Harzanto mengklaim dirinya sebagai generasi penerus yang dipercaya leluhur untuk melanjutkannya. "Saya mohon ini tidak terjadi sebuah fitnah. Saya berjalan sesuai de facto dan de jure. Karena dasar sertifikat ini dilandasi oleh sertifikat yang namanya 1313.”
Kasus ini memang unik seperti halnya kisah lainnya seperti Sunda Empire, Negara Rakyat Nusantara, Keraton Agung Sejagat, Kesultanan Selaco, dan sebagainya. Semuanya menimbulkan kehebohan di berbagai media, juga perbincangan di hampir semua kalangan. Misalnya Petinggi King of the King mengaku bisa melunasi semua hutang negara Indonesia.
Semua kelompok ini punya kesamaan dalam "memasarkan" ilusi kerajaan palsu dan kisah rekayasa lainnya. Mereka sangat pandai mengolah kata-kata, gestur, simbol-simbol, bahkan "mampu" menunjukkan sertifikat tentang harta karun, pusaka, istana, dan sebagainya.
Kalau ada yang berminat masuk sebagai anggota kerajaan seperti Sunda Empire, maka ada mahar yang harus diserahkan selain syarat lainnya.
Pada era digital ini kok masih ada yang terpesona dengan "keagungan" masa lalu yang palsu. Banyak sudut yang bisa dikorek dari berbagai kasus ini. Ada banyak disipilin ilmu yang bisa menganalisanya seperti psikologi, politik, sejarah, bahkan jika ditelisik dari sisi keamanan negara maupun ketenteraman hati masyarakat.
Warga pun punya analisanya masing-masing sebagaimana muncul pada tayangan ini, yang juga menarik untuk ditelaah.
Apakah anda sependapat dengan pendapat nara sumber pada tayangan tersebut?
Indonesia yang jaman dahulu dikenal sebagai Nusantara memang unik dan memiliki berbagai kisah sejarah, mitos dan sebagainya. Semua itu menarik untuk menjadi alasan kita untuk bangga sebagai bangsa Indonesia, namun ada juga pihak tertentu yang menggunakan pesona masa lalu untuk kepentingan tertentu, entah itu politik, ingin cepat kaya, ingin tampil sebagai bangsawan dadakan, dan sebagainya. Pada akhirnya banyak orang yang dirugikan secara materi maupun psikologis. Enough is enough lah.
0 Comments
Pilkada Jakarta jika dihitung dari 21 Januari 2019 memang masih jauh, namun warga Jakarta dan warganet sudah membicarakan Tri Rismaharini alias Bu Risma sebagai calon gubernur DKI untuk menggantikan Anies Baswedan.
Di antara warga Jakarta tentu punya alasan tertentu untuk menampilkan Risma, Walikota Surabaya yang konon cerewet, galak, tegas dan cerdas ini dalam menata kota. Dikatakan pula bahwa Bu Risma pandai menata kota bukan menata kata. Gayanya yang galak pada sesuatu yang melanggar aturan mirip seperti galaknya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kini lebih senang dipanggil sebagai BTP. Ahok yang sudah pergi bareng Presiden Jokowi ke Uni Emirat Arab untuk urusan Pertamina ini juga masih jadi bahan omongan karena kiprahnya sebagai DKI 1 bersama Djarot.
Tri Rismaharini, Walikota Surabaya bersama Ahok ketika masih sebagai DKI 1. (beritatagar.id). Prabowo Subianto Ketua Umum GERINDRA bersama Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN. Apakah tahta DKI 2 akan disandingkan dengan PAN atau GERINDRA? (bisnisjakarta.co.id)
Menentukan pasangan calon Kepala Daerah dengan partai berbeda memang tidak mudah. Ada banyak pertimbangan unik yang harus diputuskan. Ciri khas Indonesia antara lain adalah latar belakang agama, ideologi, dan hal-hal yang berbagu primordial lainnya, yang biasanya dibungkus dengan istilah visi serta misi yang serupa.
Para elite politik lebih banyak lupa alias tidak begitu mau mendengar suara rakyat yang ada di akar rumput - tentang apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh warga suatu kota, kabupaten atau provinsi. Tarik ulur untuk "menyamakan" visi misi itu sering menimbulkan kehebohan yang menular sampai ke warga masyarakat, sehingga terjadi perbedaan pendapat yang tajam, bahkan mampu membuat gempar media sosial.
Jakarta telah mengalami peristiwa pahit, yang lebih pahit daripada daun legundi ini pada Pilkada 2017. Saat itu terjadi kegemparan politik yang dihebohkan dengan memaksimalkan isu SARA dan program yang tidak realistis, sehingga membuat warga Jakarta "terpaksa" menghadapi perdebatan keras bukan hanya dengan relawan pihak lawannya, juga dengan tetangga, keluarga, bahkan pasangan suami istri bisa "bertengkar" gara-gara beda pilihan, belum lagi terganggunya hubungan persahabatan.
Pada Pilkada Jakarta mendatang tentu kisah sedih dalam Pilkada Jakarta 2017 tidak perlu terjadi lagi dalam skala apapun. Karena itulah para elite politik bisa lebih bijak dalam menerima ide kampanye yang merusak Persatuan Indonesia yang berdasarkan Pancasila entah itu dari elite politik itu sendiri, ORMAS atau komunitas yang memiliki pandangan ideologi yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang berdasarkan Pancasila, dimana semboyan Bhineka Tunggal Ika seharusnya menjadi benang merah dalam berpolitik, berbangsa dan bernegara.
Semoga harapan indah yang diimpikan para pendiri bangsa ini bisa terwujud pada pesta demokrasi di Pilkada Jakarta yang akan datang.
Jika PDIP dan koalisinya mencalonkan Tri Risma Harini sebagai calon gubernur atau DKI 1 pada Pilkada mendatang, lalu siapa yang akan mendampingi Risma sebagai DKI 2? Apakah dari PAN atau GERINDRA?
Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut, barangkali perlu disimak tayangan berikut ini. Siapa tahu para pembaca yang budiman akan mendapatkan inspirasi untuk masa depan Jakarta yang lebih keren.
Apakah anda punya calon yang mumpuni untuk Tri Risma Harini? Atau anda sudah tahu siapa pasangan Anies Baswedan pada Pilkada Jakarta yang akan datang?
Ketika calon kepala daerah atau seorang calon presiden mengucapkan berbagai kata-kata yang tertuang dalam janji kampanye mereka, warga dan para pengamat pasti menyimak setiap kata-kata tersebut dengan respons masing-masing sebagai pribadi, kelompok atau WA Group serta reaksi di media sosial lainnya. Maklumlah, ini kan jaman now.
Kata-kata atau kalimat yang tersirat dan tersurat di sebuah puisi, prosa, novel, proposal, konferensi pers atau janji kampanye sering membuat orang tersihir oleh kata-kata itu. Pesona kata-kata juga membuat perubahan ke arah lebih baik, bahkan kadang kala revolusioner yang berdampak sangat luas dalam arti sangat positif.
Namun ada pula kata-kata hanya penuh bunga rampai yang sebenarnya miskin fakta, yang hanya ingin berbeda dari sang lawan - akhirnya sulit bahkan tidak akan dilaksanakan dalam aksi nyata ketika terpilih menjadi penguasa, entah itu seorang ketua RW, kepala desa, Walikota, Bupati, Gubernur, juga Presiden.
Anehnya ketika rangkaian kata-kata yang pernah muncul saat kampanye tidak dapat direalisasikan, bahkan membuat kebijakan yang bertentangan ternyata para pendukungnya lebih banyak diam - entah kenapa tidak berani bereaksi, bahkan ketika terjadi peristiwa besar yang merugikan harta benda, waktu, juga korban luka, sakit dan kematian.
Jika ada pendukung yang dahulu merupakan lawan mereka mengkritik di media sosial, televisi, radio atau media lainnya, mereka pun serempak membela sang pemimpin yang gagal melaksanakan kewajiban serta kewenangan yang melekat pada dirinya, entah dia seorang gubernur, walikota atau presiden.
Karena alasan tertentu yang sering dikaitkan dengan isu kelompok dengan latar belakang primordial seperti agama, maka kesalahan yang bertubi-tubi dilakukan tetap harus dibela. Akal sehat sepertinya telah berlalu, padahal badailah yang harus berlalu.
Alangkah indahnya jika pandai menata kata juga bijaksana dalam memilah kata yang akan diwujudkan dalam sebuah kebijakan, peraturan serta aksi yang nantinya akan dilaksanakan entah oleh gubernur atau walikota. Jika suatu saat ingin menata negara yang cakupan wilayah serta keragaman penduduknya lebih luas, maka tak elok jika hanya mengandalkan kepandaian menata kata, bersilat lidah lalu "ngeles", bahkan akhirnya mencari kambing hitam atas kebijakan yang keliru.
Apakah Jakarta yang sampai saat ini masih bernama resmi Daerah Khusus Ibu Kota juga akan ditata hanya dengan kata-kata atau aksi nyata yang positif untuk warganya?
Meskipun nanti Ibu Kota RI akan pindah ke Kalimantan, Jakarta akan tetap seperti sekarang sebagai kota bisnis, jasa keuangan, pariwisata, seni budaya dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Karena itulah pada saat Pilkada yang akan datang, warga Jakarta punya kewajiban untuk menyimak lebih baik tentang calon gubernur yang bukan hanya ahli menata kata-kata, melainkan juga ahli menata kota serta tahu apa kebutuhan warganya.
Apakah anda "happy" dengan kondisi Jakarta jaman now? Tentu ada yang juga bahagia dengan keadaan ibu kota RI apapun situasinya. Namun tidak semua individu di kota besar yang dahulu disebut kampung besar ini puas dengan kenyataan serta kekinian yang terjadi.
Mungkin tayangan berikut ini bisa menggambarkan tentang bagaimana seharusnya Jakarta ini ditata serta dikelola demi kesejahteraan warga serta indahnya Jakarta sebagai kota modern dan maju.
Apakah anda pendapat sama atau berbeda dengan artikel serta tayangan tersebut?
Rasanya Pilkada Jakarta mendatang bagaikan antara jauh dan dekat. Namun, gara-gara banjir pada 1 Januari 2020 warga Jakarta dan para pengamat politik mulai membayangkan soal Pilkada, bahkan nama Tri Risma Harini alias Bu Risma sering disebut-sebut, apalagi setelah Megawati Sukarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan memuji Risma pada penutuppan Rakernas PDIP, bahkan menyebut Walikota Surabaya itu sebagai orang cerewet - tapi ternyata Presiden RI ke 5 itu juga menyebut dirinya sendiri juga cerewet. Mungkin itulah ciri pemimpin perempuan pada umumnya.
Saat Anies Baswedan beda pendapat dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono tentang normalisasi sungai di hadapan para wartawan (Image: ayosemarang.com). Tri Rismaharini sedang memberi instruksi kepada birokrat Pemkot Surabaya (Image: melekpolitik.com).
Jika PDI Perjuangan akhirnya memutuskan Bu Risma sebagai calon gubernur untuk menantang patahana Anies Baswedan, apakah warga Jakarta membutuhkan gubernur cerewet seperti Tri Risma Harini yang banyak mendapat penghargaan ini, bahkan diundang Presiden Turki untuk menerima penghargaan karena prestasinya yang gemilang menjadikan Surabaya sebagai kota terbaik kelas dunia. Surabaya memang lebih asri dengan berbagai taman-tamannya, trotoar yang proporsional, sehingga kota Pahlawan ini menjadi sasaran warga dan wisatawan untuk berfoto selfie.
Bagi warga Surabaya Risma memang telah dianggap sebagai "Pahlawan" meskipun kadang kala Risma sangat galak atau cerewet (meminjam istilah Megawati Sukarno Putri), namun warga percaya bahwa itu adalah sikap tegas seorang pemimpin yang jujur demi kesejahteraan warga.
Ketika terjadi banjir di Surabaya ternyata air surut hanya dalam 3 jam saja, berbeda dengan peristiwa yang terjadi di DKI Jakarta yang butuh waktu lebih lama untuk pulih, belum lagi kerugian harta benda yang diderita warga termasuk penyakit dan adanya warga yang meninggal dunia akibat banjir seperti tersengat stroom listrik.
Apakah Pilkada Jakarta masih lama atau sebentar lagi, wacana tentang pencalonan Tri Risma Harini sebagai gubernur Jakarta semakin hangat diperbincangkan di berbagai media, bahkan warung kopi pinggir jalan sampai di cafe mewah di mall.
Kalau mengamati kesan warga di jalan tentang wacana tersebut, mungkin opini warga biasa layak untuk didengar sebagaimana muncul pada tayangan berikut ini.
Bagaimana pendapat anda setelah menyaksikan tayangan tersebut? Apakah anda punya kesan dan keinginan berbeda?
Ada ucapan menarik ketika Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Putri berpido pada RAKERNAS PDIP, bahwa Tri Risma Harini adalah cerewet. Semua orang terkesemima namun tertawa saat itu penutupan acara tersebut. Namun kemudian Ibu Mega, presiden RI ke 5 ini juga mengaku dirinya pun cerewet seperti Risma, yang masih menjabat walikota Surabaya ini.
Dipastikan bahwa Bu Risma akan pindah ke Jakarta setelah tugasnya sebagai walikota yang telah membawa Surabaya sebagai salah satu kota terbaik dunia ini, mengingat Risma sudah dilantik sebagai ketua DPP PDIP, sehingga harus menjalankan tugasnya di Jakarta supaya lebih fokus.
Penugasan Tri Risma Harini yang mungkin benar dia adalah cerewet ini telah menciptakan lingkungan birokrasi di Pemerintahan Kota Surabaya ini dengan menjalankan sistem online dalam merancang anggaran belanja daerah, dan telah diadopsi oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjadi gubernur Jakarta. Program ini berlanjut di era Gubernur Djarot. Namun menjadi heboh ketika William Aditya Sarana, salah satu anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PSI (Partai Solidaritas Indonesia) mengungkap adanya keanehan pada RABPD DKI.
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyambut Presiden Joko Widodo alias Jokowi di Abu Dhabi (Image: m.bizlaw.id). Apakah Megawati Sukarno Putri sudah memegang SK pencalonan Tri Risma Harini alias Bu Risma sebagai calon DKI 1? pada Pilkada Jakarta yang akan datang? (Image: news.detik.com)
Kehebohan William itu bukan saja membuat Anies Baswedan membuat pernyataan bahwa sistem online itu tidak canggih, namun juga membuat William diberikan teguran oleh Dewan Etik di DPRD. Jika di Surabaya sistem tersebut berjalan dengan baik, begitu pula di era Ahok dan Djarot, kenapa pada jaman Anies menjadi bahan pertanyaan, bukan saja oleh William, melainkan juga para pengamat dan tentu saja warga Jakarta.
Setelah situasi reda, warga Jakarta kembali dikejutkan dengan banjir pada tahun baru 2020. Musim hujan memang sudah berlangsung, namun banjir dahsyat seperti pada 1 Januari 2020 tidak terjadi pada tahun baru 2019 dan tahun-tahun sebelumnya.
Banyak kontroversi terjadi gara-gara banjir tahun baru itu seperti pompa air yang tidak berfungsi atau penanganan banjir yang tidak sigap. Terjadi pula perdebatan sengit di media tentang beda normalisasi sungai di era Jokowi, Ahok dan era Sutiyoso versus naturalisasi sungai versi Anies Baswedan.
Presiden Jokowi telah memutuskan bahwa Ibu Kota RI akan dipindahkan ke Kalimantan, sehingga setelah itu tidak ada lagi status Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) pada Jakarta, dan akan melekat di ibu kota yang baru.
Proses ibu kota baru sedang berlangsung, sementara menunggu itu terwujud, Presiden Jokowi akan melihat pula proses Pikada di Jakarta. Apakah PDIP akan calonkan Tri Risma Harini alias Bu Risma yang katanya cerewet itu? Apakah Warga Jakarta Mau Pilih Risma Yang Cerewet & Galak Seperti Ahok?
Jika PDIP calonkan Risma untuk tantang Anies Baswedan pada Pilkada Jakarta yang akan datang, bagaimana sih pendapat warga tentang Tri Risma Harini? Apakah Risma cocok jadi DKI 1 dan menggantikan sang patahana?
Barangkali tayangan berikut ini bisa memberikan gambaran tentang kemungkinan tersebut.
Bagaimana pendapat anda setelah anda menyaksikan tayangan tersebut? Apakah anda setuju dengan opini nara sumber?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memulai awal tahun 2020 dengan menyelenggarakan Rakernas yang bukan saja dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, melainkan juga Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra. Sebagaimana diketahui Gerindra adalah pengusung Anies Baswedan pada Pilkada 2017, dimana sebelumnya pada 2012 bersama PDIP mengantar kemenangan Jokowi Ahok sebagai Gubernur Jakarta.
Dengan kehadiran Prabowo pada Rakernas PDIP yang mendapat apresiasi dari Megawati Sukarno Putri, apakah sejarah akan terulang bahwa PDIP bersama Gerindra akan mendukung Calon Gubernur khususnya pada Pilkada Jakarta mendatang. Jika ya, apakah kemesraan kedua partai nasionalis ini akan berlanjut dengan mencalonkan Tri Risma Harini, Walikota Surabaya, yang lebih sering dipanggil dengan Bu Risma pada Pilkada mendatang?
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto disambut meriah oleh Kader PDIP pada Rakernas di Jakarta (tribunnews.com). Saat Tri Rismaharini menyambut kedatangan Megawati Sukarno Putri di Surabaya (nusantara.medcom.id)
Jika terjadi koalisi antara PDIP & Gerindra pada Pilkada Jakarta mendatang bersama partai lain yang memiliki visi sama, maka pesta demokrasi ini akan seru dan menarik. Bu Risma yang sukses sebagai salah satu walikota terbaik dunia tentu menjadi bobot tersendiri sebagai track record yang bisa ditawarkan kepada warga Jakarta yang umumnya ingin memiliki pemimpin bersih, jujur dan bisa bekerja dalam segala situasi demi kesejahteraan warga. Tri Rismaharini punya pengalaman yang baik yang sudah terbukti dalam menata kota seperti Surabaya yang mirip seperti Jakarta, dimana penduduknya juga beragam, yang terdiri dari berbagai suku agama, ras, adat istiadat dan budaya yang berbeda.
Lalu, bagaimana dengan perasaan warga Jakarta, apakah juga tergoda untuk mengajak Bu Risma untuk memimpin Jakarta, sehingga carut marut APBD dan pengalaman banjir Jakarta pada tahun baru 2020 tidak terulang lagi?
Ada baiknya kita dengarkan langsung bagaimana pendapat warga pada tayangan berikut ini:
Apakah anda sependapat dengan curhat warga pada video tersebut? Silahkan utarakan isi hati anda pada kolom di bawah ini.
Setelah banjir besar melanda Jakarta pada 1 Januari 2020, warga Jakarta dan sekitarnya menderita fisik dan psikis, perekonomian pun lumpuh. Distribusi barang dan jasa terhambat di jalur-jalur yang biasa dilalui truk logistik, jasa pengantar makanan dan sebagainya. Belum lagi penderitaan batin keluarga dengan tewasnya 3 warga karena tersengat listrik atau kena hiportemia di tengah banjir yang dingin.
Sementara itu warga terhenyak karena Gubernur Anies Baswedan menyatakan bahwa anak-anak senang atau gembira bermain di air banjir, yang diledek sebagian netizen sebagai kolam gratis.
Anies Baswedan juga ngotot ingin naturalisasi sungai untuk mengendalikan banjir di Jakarta, sedangkan Pemerintah Pusat atau Menteri PUPR Hadi Muljono meminta Anies untuk melanjutkan program normalisasi sungai yang sudah dilakukan oleh gubernur sebelumnya, baik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maupun yang sudah dilakukan Jokowi, bahkan oleh Bang Yos, begitu pula Fauzie Bowo alias Foke.
Menurut staf ahli Kementrian PUPR yang diwawancarai CNN Indonesia menyatakan, bahwa naturalisasi itu tidak salah, melainkan salah tempat karena Jakarta tidak memiliki lahan yang luas seperti di Kalimantan. Seorang ahli tata air juga mengatakan bahwa yang tepat untuk Jakarta adalah normalisasi sungai, sedangkan naturalisasi hanya bisa dilakukan di sungai atau kali yang di sekitarnya ada lahan luas seperti di Kalimantan, Papua dan daerah lain yang sungainya tidak diokupasi oleh ribuan manusia seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR di hadapan para wartawan bareng Anies Baswedan, gubernur Jakarta beda pendapat soal cara pencegahan banjir (indonesiaparlemen.com). Bukan hanya warga biasa yang jadi "korban" banjir, penyanyi top Yuni Shara dan artis lainnya juga ada yang kena dampak banjir 1 Januari 2020 di Jakarta (jateng.idntimes.com)
Anies Baswedan mungkin "terikat" pada janji kampanye yang ogah menggusur warga dengan alasan kemanusiaan, namun Ahok bisa melakukan normalisasi dengan menggusur pemukiman ilegal di pinggir kali dan sungai dan memberikan warga kamar di Rusunawa dengan beberapa kemudahan. Setelah terjadi banjir, warga yang dahulu menolak pindah ke Rusunawa akhirnya menyesal karena sangat menderita di saat ada air sungai meluap di musim hujan.
Banjir bukan saja menimbulkan masalah sosial dan ekonomi, serta penderitaan psikologis bagi warga melainkan telah menjadi bumbu politik serta bahan omongan yang mengalir deras di berbagai media termasuk media sosial.
Jika Anies Baswedan tidak suka dengan segala ujaran para warganet tentang kebijakan yang dia ambil, ada baiknya Anies yang berpendidikan tinggi ini lebih mengutamakan keselamatan warga, sehingga lebih memilih kebijakan yang telah terbukti daripada mencoba ide baru yang ternyata hanya bisa dilakukan di daerah lain, yaitu bukan memaksakan naturalisasi yang hanya cocok dilaksanakan di Kalimantan atau Papua itu.
Anies Baswedan sebagai pria terpelajar yang lulusan luar negeri tentu bisa membedakan antara teori yang telah terbukti secara empiris (sukses dalam praktek), sehingga tidak perlu malu untuk melanjutkan program normalisasi sungai atau kali yang telah dilakukan bukan saja oleh Ahok, yang pernah menjadi lawan politik Anies Sandi ketika Pilkada 2017, ternyata program normalisasi ini memang harus dilanjutkan karena memang belum dituntaskan oleh para gubernur sebelumnya, baik oleh Ahok, Djarot, Foke maupun oleh Bang Yos. Program ini memang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat karena menyangkut upaya pembebasan lahan.
Menteri PUPR Hadi Muljono telah memeriksa keadaan banjir di beberapa titik di Jakarta, dan meminta supaya program normalisasi agar dilanjutkan. Anies bisa meniru gaya Jokowi ketika akan melakukan pembebasan lahan, apalagi Anies dikenal pandai merangkai kata, tentu ini merupakan nilai tambah. Pasti banyak staf, walikota serta pejabat di Pemprov Jakarta yang siap melaksanakan perintah Anies untuk program normalisasi.
Terlepas dari istilah naturalisasi atau normalisasi sungai, warga Jakarta juga ingin menikmati suasana lebih nyaman dan indah pada saat tahun baru dan dalam kehidupan sehari-hari lainnya seperti warga di Surabaya. Seorang walikota bernama Dr. Ir. Tri Rismaharini, M.T. atau lebih sering dipanggil dengan nama Bu Risma telah sukses membuat warga Surabaya happy dan dimanusiakan.
Lalu, apa pendapat warga tentang debat normalisasi sungai atau naturalisasi? Barangkali opini warga pada video ini menarik untuk disimak.
Apakah anda ikut bingung atau punya pendapat lain? Silahkan sampaikan opini anda pada kolom di bawah ini supaya pembaca lainnya ikut mendapat pencerahan.
Gara-gara #JakartaBanjir pada #TahunBaru2020 banyak warga harus dievakuasi dari rumah mereka karena diterjang banjir. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono meninjau beberapa titik banjir dan segera menemukan masalah serta penyebab utamanya, kenapa banjir tahun ini sangat parah.
Selain bisa disaksikan di televisi nasional.tempo.co (2/1/2020) melaporkan bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono sempat "menyentil" Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal bagaimana mengatasi banjir Jakarta.
Saat Anies Baswedan jumpa Basuki di Monas, nasional.tempo.co juga mengabarkan bahwa Basuki mengingatkan Anies bahwa banjir Jakarta bisa diatasi apabila Kali Ciliwung dinormalisasi. “Namun, mohon maaf bapak Gubernur, selama penyusuran kali Ciliwung sepanjang 33 kilometer itu yang sudah dinormalkan 16 kilometer. Nah yang belum dinormalkan tergenang,”
Menurut Basuki, luapan air tidak terjadi pada aliran sungai yang dinormalisasi. Setelah itu Anies Baswedan yang diberhentikan sebagai Mendikbud oleh Presiden Jokowi membantah pernyataan Menteri PUPR yang sangat sibuk membangun infrastruktur ini.
Saat Menteri PUPR Basuki Hadimuljono meninjau salah satu titik banjir di Jakarta (rmco.id). Suasana ketika Anies Baswedan berbeda pendapat dengan Menteri PUPR di Monas tentang penyebab dan solusi mengatasi banjir di Jakarta (sinarharapan.co)
Sebagaimana dilaporkan tribunnews.com (1/1/2020) Mendengar pernyataan tersebut, Anies Baswedan yang berada di sebelah Basuki lalu menyanggahnya. Menurut Gubernur, selama tidak ada pengendalian air yang masuk ke Jakarta, maka upaya apapun yang dilakukan tidak akan berdampak signifikan.
"Mohon maaf pak menteri saya harus berpandangan karena tadi bapak menyampaikan. Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya, " kata Anies dengan wajah serius.
Basuki Hadimuljono yang juga fotografer dan jago main musik ini menilai Anies Baswedan dianggap gagal menangani masalah banjir di Jakarta dan sekitarnya. Sebagaimana dilaporkan finance.detik.com (1/1/2020) kegagalan Anies diungkap Basuki sebab tak cepat tanggap dalam melaksanakan program normalisasi sungai Ciliwung.
Warga Ingat Ahok? & Unek-unek Warga
Gara-gara banjir yang parah di Jakarta, bukan hanya silang pendapat antara Anies Baswedan yang tidak setuju dengan hasil survey Menteri PUPR Basuki, ternyata warga jadi teringat pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sekarang lebih senang dipanggil BTP ini sebagaimana dilaporkan pada video berikut ini. Ada apa ya?
Bagaimana pendapat anda tentang pernyataan Basuki Hadimuljono, Anies Baswedan dan unek-unek warga?
Apakah anda juga punya unek-unek?
Silahkan curhat pada kolom di bawah ini.
Beruntunglah warga Jakarta yang lokasinya aman dari kepungan genangan air yang tinggi, yang terjadi di awal tahun 2020 setelah hujan deras pada akhir tahun 2019. Meskipun ada warga yang tidak kebanjiran, namun pasti enggan untuk jalan-jalan ke tempat lain di sekitar Jakarta, bahkan mau terbang via Bandara Halim Perdana Kusuma pun sulit dilakukan. Runway di bandara tersebut tergenang air, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Jakarta memang rawan banjir, namun dengan usaha tertentu pasti bisa dikendalikan dengan kebijakan politik anggaran yang tepat. Menurut laporan gesuri.id (30 April 2019), Gubernur Anies Baswedan telah memangkas anggaran pengendalian banjir pada APBD 2018. Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, politisi PDIP ini mempertanyakan tentang pengurangan anggaran penanggulangan banjir yang dipotong oleh Anies.
Lebih lanjut gesuri.id juga melaporkan bahwa Prasetyo meminta Anies berpikir ulang. Prasetyo menyatakan pula, "Masalah anggaran banjir, saya lihat sekarang ini kenapa diturunkan? Seharusnya ditambah. Misalnya suatu saat kekurangan anggaran, kita sudah siap. Ini yang buat anggaran sopo?"
Sementara itu pada 29 April 2019 sebagaimana dilaporkan news.detik.com Gubernur Jakarta memastikan program naturalisasi sungai terus berjalan. Pada era gubernur sebelumnya, baik jaman Ahok maupun Sutiyoso, program pengendalian banjir di kali Ciliwung disebut dengan istilah normalisasi. Anies menggantinya dengan kata baru, naturalisasi. "Kita sedang dalam lima wilayah yang sedang dalam proses, mudah-mudahan akhir tahun ini selesai. Salah satunya adalah di koridor Kali Ciliwung, sampai dengan pintu air Istiqlal. Begitu kemudian juga di Kanal Banjir Barat. Juga ada percontohan dari proses ini," Kata Anies Baswedan.
Petugas tidak bisa nikmati liburan tahun baru karena harus mengevakuasi warga sebelum datangnya kiriman dari Pintu Katulampa, Bogor (news.detik.com). Ketika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menerima calon gubernur Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta pada tahun 2017 (jakarta.bisnis.com)
Laman fokus.tempo.co mengabarkan pula pada 3 Mei 2019, bahwa Peneliti tata air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, berpendapat bahwa naturalisasi sungai sulit diterapkan di Ibu Kota (Jakarta). Sebab, naturalisasi memerlukan lahan luas di tepi sungai. Menurut dia, program normalisasi (pengerukan dan pembetonan) pinggir sungai dan danau lebih cocok diterapkan di Jakarta. “Kalau (naturalisasi) diterapkan di Papua atau Kalimantan bisa karena lahannya ada,”
Anies memastikan naturalisasi sungai di Jakarta selesai akhir 2019, dan ternyata program ini bisa disebut gagal dilaksanakan walaupun telah mengganti istilah. Banjir bukan saja terjadi di titik yang "langganan" banjir, melainkan juga di banyak tempat yang sudah beberapa tahun ini bebas banjir.
Menengok kembali berita pada akuratnews.com pada 28 April 2019, maka mengutip ucapan Viani Limardi kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mengatakan, bahwa "Anggaran pencegahan banjir yang semula Rp 4,5 Triliun dalam rancangan APBD Perubahan 2018 dipangkas menjadi Rp 4,1 Triliun, artinya ada sekitar Rp 400 Miliar dana pencegahan banjir dialihkan ke pos lain, hal ini menunjukkan bahwa Pemrov DKI tidak menjadikan pencegahan banjir sebagai skala prioritas",
Menurut cnnindonesia.com pada 29 Agustus 2019, Total pemotongan anggaran mencapai Rp242 miliar. Meskipun tanpa mengganti nama program normalisasi sungai menjadi naturalisasi, anggaran untuk pengendalian banjir seharusnya lebih dari cukup, sehingga banjir bisa dicegah untuk menjadi bencana yang merugikan warga dan perekonomian ibukota RI, yang sedang disiapkan kepindahannya ke Kalimantan ini.
William Aditya Sarana anggota DPRD Jakarta yang terkenal karena ungkap keanehan pada Rancangan APBD DKI Jakarta (akurat.co). Anggota TGUPP diperkenalkan oleh Gubernur Anies Baswedan di Balai Kota (jawapos.com)
Memperhatikan situasi Jakarta pada awal tahun ini, sepertinya pembuatan rancangan anggaran memang harus dipolototi oleh Gubernur secara serius, bukan hanya oleh para pejabat yang bertugas. Begitu pula tim ahli yang disebut TGUPP yang mendapat jatah anggaran begitu besar sepertinya belum bekerja maksimal untuk memberi informasi dan solusi kepada gubernur.
Lalu bagaimana beda cara gubernur di era Anies Baswedan dan era sebelumnuya, khususnya di era Ahok Djarot? Mungkin acara talk show yang diselenggarakan oleh Komunitas SEMANGAT BARU INDONESIA atau SEMBARI pada video ini bisa memberi informasi tentang bagaimana perbedaannya.
Apakah anda punya pendapat lain tentang artikel atau video ini? Silahkan sampaikan curhat anda pada kolom di bawah ini, yang semoga bisa menjadi bahan perhatian PEMDA DKI Jakarta.
Selamat Tahun Baru untuk warga Jakarta & sekitarnya, tetap semangat.
Ahmad Dhani yang dikenal sebagai pentolan group Dewa 19, yang pernah ngetop di era 2000 an, lalu mencoba menjadi aktivis bersama Ratna Sarumpaet, lalu terjun ke politik praktis. Ahmad Dhani suami Mulan Jameela, penyanyi dan kini anggota DPR ini - namun gagal menang sebagai wakil wali kota di sebuah daerah di Bekasi, Jawa Barat.
Keberanian Ahmad Dhani yang merupakan mantan suami Maia Estianty, yang juga penyanyi terkenal ini, bahkan pernah duet dengan Mulan Jameela ini akhirnya menjadi terpidana karena kasus ujaran kebencian.
Duet penyanyi terkenal Mulan Jameela & Maia Estianty bersama Ahmad Dhani (pop.grid.id) Ketika Ahmad Dhani bareng Ratna Sarumpaet sebelum masuk penjara (oketekno.com)
Seperti Ratna Sarumpaet yang kini menikmati masa bebas bersyarat, Ahmad Dhani pun telah kembali pulang, bahkan sudah press conference mengumumkan rencananya untuk meluncurkan album baru. Belum diketahui judul lagu maupun genre musik yang akan dia rekam nanti.
Sebagaimana halnya Ahok yang tampil di berbagai acara televisi, bahkan Ahok juga punya sebuah channel di YouTube dan telah disubscribe lebih dar satu juta subscribers ini dengan nama "Panggil Saya BTP" ini, ternyata Ahmad Dhani pun telah mendapat peluang tampil di televisi pada sebuah acara debat.
Ahmad Dhani diapit politikus Fahri Hamzah yang kini punya partai baru dan Fadli Zon yang masih berkiprah di Senayan (jabar.tribunnews.com). Sebelum Ahmad Dhani keluar dari penjara, Prabowo Subianto diangkat sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo dalam Kabinet Indonesia Maju. (tribunnews.com)
Para penggemar Ahmad Dhani dari sisi politik maupun musik pasti sudah lama menanti penampilan sang idola, namun belum acara selesai, Ahmad Dhani ngambek dan walkout dari perdebatan di televisi tersebut.
Menurut laporan tribunnews.com (31/12/2019) Insiden Ahmad Dhani walkout saat debat terjadi ketika membicarakan soal dukungannya (Ahmad Dhani) pada Prabowo Subianto, yang telah diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Ahmad Dhani memilih untuk pergi meski lawan bicaranya, Muannas Alaidid masih tetap bicara.
Kenapa Ahmad Dhani ngambek dan walkout?
Ternyata Pengacara yang juga polisiti PSI Muannas Alaidid berpendapat mestinya Ahmad Dhani tetap konsen di bidang musik saja. Politisi PSI itu juga mengatakan, bahwa "kalau politisi itu kan sikapnya seperti yang ditunjukan Prabowo, bahwa merah putih beliau bersedia membangun bangsa ini bersama-sama, artinya sudah tidak lagi dukung mendukung lagi, politik identitas, " kata Muannas Alaidid dikutip dari video akun Youtube Official iNews.
Sementara itu lampung.tribunnews.com (31/12/2019) juga melaporkan ucapan Muanas Alaidid, bahwa "Sebagaimana sudah dibuktikan lewat pengadilan, saya kira polisi akan mengapresiasi kalau Mas Dhani masih tetap menjadi musisi, karena banyak hal yang diwakili, hasratnya liriknya itu bahwa cinta dan nilai kemanuasian cukup mewakili semua keingin publik, "
Apakah Ahmad Dhani emosi atau belum matang sebagai seorang politisi dan aktivis, sehingga harus walkout dari ruang debat di televisi itu?
Mungkin Ahmad Dhani belum siap untuk sebuah perdebatan yang menyangkut masa lalu karena baru keluar dari sel penjara. Barangkali suasana hatinya belum lepas dari bayang-bayang sebagai terpidana yang baru bebas bersyarat.
Politikus sejati yang sudah matang dengan segala konsekwensi sebagai tokoh politik, dan ada risiko tertentu yang akan terjadi, maka Ahmad Dhani rupanya belum siap menghadapi dunia nyata di bidang politik.
Ada banyak aktivis sosial, budayawan, penulis serta politikus yang "merasakan" dinginnya penjara ternyata tetap tegar dan siap menghadapi kenyataan baru setelah keluar dari hotel prodeo. Justru mereka menantikan sebuah perdebatan baru yang seru. Di antara politikus yang pernah dipenjara bahkan banyak yang akhirnya menjadi pemimpin negara, bahkan akhirnya disegani di dunia.
Menjadi politikus atau aktivis memang perlu persiapan visi misi, serta mental baja untuk menghadapi segala situasi, bukan hanya mau didengar dan dituruti apa yang menjadi keinginannya. Lawan politik bukanlah musuh, melainkan harusnya dijadikan sebagai partner setia untuk melanjutkan visi misi.
Bisa dipetik pesan moral yang baik untuk para politisi yang sudah eksis maupun siapa saja yang ingin berkiprah di dunia politik. Kata filosofi Jawa, ojo kagetan dan jangan mudah ngambek.
Jika kangen pada lagu baru Ahmad Dhani, sebagai pelepas rindu sepertinya lagu dari album Dewa 19 ini bisa menjadi pelipur lara di musim hujan pada tahun 2020 ini.
Selamat Tahun Baru 2020. Tetaplah semangat dan optimis.
|
|