Ketika calon kepala daerah atau seorang calon presiden mengucapkan berbagai kata-kata yang tertuang dalam janji kampanye mereka, warga dan para pengamat pasti menyimak setiap kata-kata tersebut dengan respons masing-masing sebagai pribadi, kelompok atau WA Group serta reaksi di media sosial lainnya. Maklumlah, ini kan jaman now.
Kata-kata atau kalimat yang tersirat dan tersurat di sebuah puisi, prosa, novel, proposal, konferensi pers atau janji kampanye sering membuat orang tersihir oleh kata-kata itu. Pesona kata-kata juga membuat perubahan ke arah lebih baik, bahkan kadang kala revolusioner yang berdampak sangat luas dalam arti sangat positif.
Namun ada pula kata-kata hanya penuh bunga rampai yang sebenarnya miskin fakta, yang hanya ingin berbeda dari sang lawan - akhirnya sulit bahkan tidak akan dilaksanakan dalam aksi nyata ketika terpilih menjadi penguasa, entah itu seorang ketua RW, kepala desa, Walikota, Bupati, Gubernur, juga Presiden.
Anehnya ketika rangkaian kata-kata yang pernah muncul saat kampanye tidak dapat direalisasikan, bahkan membuat kebijakan yang bertentangan ternyata para pendukungnya lebih banyak diam - entah kenapa tidak berani bereaksi, bahkan ketika terjadi peristiwa besar yang merugikan harta benda, waktu, juga korban luka, sakit dan kematian.
Jika ada pendukung yang dahulu merupakan lawan mereka mengkritik di media sosial, televisi, radio atau media lainnya, mereka pun serempak membela sang pemimpin yang gagal melaksanakan kewajiban serta kewenangan yang melekat pada dirinya, entah dia seorang gubernur, walikota atau presiden.
Karena alasan tertentu yang sering dikaitkan dengan isu kelompok dengan latar belakang primordial seperti agama, maka kesalahan yang bertubi-tubi dilakukan tetap harus dibela. Akal sehat sepertinya telah berlalu, padahal badailah yang harus berlalu.
Alangkah indahnya jika pandai menata kata juga bijaksana dalam memilah kata yang akan diwujudkan dalam sebuah kebijakan, peraturan serta aksi yang nantinya akan dilaksanakan entah oleh gubernur atau walikota. Jika suatu saat ingin menata negara yang cakupan wilayah serta keragaman penduduknya lebih luas, maka tak elok jika hanya mengandalkan kepandaian menata kata, bersilat lidah lalu "ngeles", bahkan akhirnya mencari kambing hitam atas kebijakan yang keliru.
Apakah Jakarta yang sampai saat ini masih bernama resmi Daerah Khusus Ibu Kota juga akan ditata hanya dengan kata-kata atau aksi nyata yang positif untuk warganya?
Meskipun nanti Ibu Kota RI akan pindah ke Kalimantan, Jakarta akan tetap seperti sekarang sebagai kota bisnis, jasa keuangan, pariwisata, seni budaya dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Karena itulah pada saat Pilkada yang akan datang, warga Jakarta punya kewajiban untuk menyimak lebih baik tentang calon gubernur yang bukan hanya ahli menata kata-kata, melainkan juga ahli menata kota serta tahu apa kebutuhan warganya.
Apakah anda "happy" dengan kondisi Jakarta jaman now? Tentu ada yang juga bahagia dengan keadaan ibu kota RI apapun situasinya. Namun tidak semua individu di kota besar yang dahulu disebut kampung besar ini puas dengan kenyataan serta kekinian yang terjadi.
Mungkin tayangan berikut ini bisa menggambarkan tentang bagaimana seharusnya Jakarta ini ditata serta dikelola demi kesejahteraan warga serta indahnya Jakarta sebagai kota modern dan maju.
Apakah anda pendapat sama atau berbeda dengan artikel serta tayangan tersebut?
0 Comments
Leave a Reply. |
|