Sejak manusia lebih mengandalkan teknologi begitu maksimal untuk mendapatkan informasi, manusia pun menghadapi tantangan baru, yaitu kebohongan yang "berwujud kebenaran". Setiap orang mudah mendapat akses untuk menulis, membuat gambar, mengedit foto dan video lalu disebarkan pada peristiwa tertentu, bahkan ada orang-orang "pintar" sengaja membuat berita padahal tidak ada suatu peristiwa apapun yang terjadi.
Kata hoax bukanlah hal baru, bahkan ketika media cetak masih berjaya ternyata hoax itu sudah ada yang dilakukan untuk menutupi sebuah kebusukan, kejahatan atau skandal. Di era media sosial hoax dibikin secara sengaja untuk membuat orang atau publik percaya pada hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi atau tidak pernah dilakukan seseorang.
Hoax sudah seperti sarapan pagi (rifkisyabani.wordpress.com). Awas pembuat hoax bisa ditangkap dan dihukum lho (twitter.com)
Yang membuat prihatin kok ada orang tega membuat hoax ketika terjadi musibah bencana alam atau kecelakaan pesawat terbang seperti yang dialami oleh Lion Air JT610. Para pembuat hoax tidak punya empati kepada para koban dan keluarga mereka. Begitu pula ketika terjadi gempa bumi di NTB dan Sulawesi Tengah.
Ada banyak "berita" dan "video" palsu penuh kebohongan yang dipabrikasi sedemikan rupa, sehingga orang awam sampai orang bertitel S3 pun percaya. Kebohongan yang seolah-olah benar itu benar itu menjadi pesan berantai yang diunduh dari berbagai media sosial seperti Twitter, Facebook dan sumber lainnya - lalu beredar luas di WhatsUp (WA Group), Line dan tentu saja balik lagi ke Twitter atau Facebook. Banyak dan sangat banyak orang baik yang tergesa-gesa ikut menyebarkan hoax. Why?
Jangan buru-buru "ngeshare" & forward hoax dong. Foto kanan (omjojoho.com). Foto kiri (sisternet.co.id)
Tanpa pikir panjang "dengan semangat" berita, foto-foto atau video hoax itu pun menyebar tanpa kendali. Sepertinya setiap orang ingin jadi orang pertama yang menyebarkan hoax itu tanpa cek & ricek lagi di media lain sebagai pembanding.
Setelah sekian lama akhirnya ada klarifikasi atau pemberitahuan dari pihak yang dirugikan atau pemerintah atau kepolisian yang menyatakan hoax tersebut adalah memang hoax. Namun, hoax tersebut terlanjur menjadi "kebenaran", apalagi jika itu menyangkut isu politik. Ujaran kebencian pun berpasangan dengan hoax bagaikan pinang di belah dua.
Hoax bisa dipesan kepada "ahlinya" karena ada "profesional" yang pandai membuat hoax atau meracik isu menjadi "fakta". Upah untuk para pembuat hoax ini bisa mengalahkan beberapa kali lipat UMR para pegawai swasta maupun ASN, sehingga tidak heran jika ada "oknum" dosen, ASN yang berprofesi sebagai pembuat hoax.
Para pemesan hoax pun bisa diuntungkan misalnya untuk keuntungan politik, bahkan untuk meningkatkan "kredibilitas" secara instan sekaligus bisa menjatuhkan lawan politiknya.
Terbongkarnya kasus hoax Ratna Sarumpaet rupanya belum menghentikan aksi pembuat hoax. Konsumen hoax memang masih banyak. Untuk itulah kita harus semakin bijak. Pastikan jari-jari anda lebih bijaksana supaya tidak buru-buru memforwad "berita, foto-foto atau video", yang belum jelas kebenarannya, meskipun itu tampak "asli". ​Please ... detik ini juga kita stop hoax bersama-sama.
0 Comments
Leave a Reply. |
|