Apakah ada rasa bahagia atau rasa kesal setelah memilih seorang kepala daerah di tempat tinggal kita? Katakanlah anda seorang warga Jakarta, yang jaman dahulu disebut sebagai The Big Village. Akhirnya Jakarta disebut pula sebagai kota metropolitan seperti Singapura atau paling tidak sudah memiliki beberapa kriteria lah.
Jika warga Jakarta happy dengan fungsi serta fasilitas yang ada saat ini seperti adanya MRT dan LRT serta berbagai sarana serba high-tech, maka sulitlah untuk kembali ke era The Big Village atau Kampung Besar. Namun beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini yang terjadi di Jakarta membuat kita berfikir, seolah-olah kesan "kampungan" itu sedang dikembalikan dengan bingkai kata-kata.
Dua peristiwa yang terjadi pada kisah Monas yang direvitalisasi oleh Anies Baswedan dan adanya event Formula E pada 6 Juni 2020 membuat warga Jakarta terpana. Sekretariat Negara telah memberikan ijin untuk revitalisasi maupun balapan Formula untuk pemerintah provinsi Jakarta yang kini dipimpin oleh Anies Baswedan.
Sayangnya revitalisasi Monas ada cacat khususnya penebangan lebih dari 190 pohon Mahoni yang tumbuh susah payah di tengah Jakarta yang sehari-hari riuh rendah dengan raungan mesin kendaraan bermotor, belum lagi polusi. Meskipun akhirnya dilakukan penanam kembali, namun penebangan atas nama revitalisasi itu tetaplah tidak elok.
Rencana balapan Formula E di area Monas pada Juni 2020 (realitarakyat.com).
Ketika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menerima Anies Baswedan di Balai Kota pada tahun 2017 sebelum Ahok digantikan oleh Djarot. (kumparan.com)
Akhirnya Anies Baswedan mengapresiasi keputusan Menteri Sekretaris Negara yang mengijinkan penyelenggaraan balapan formula E di area Monas yang sebelumnya sempat ditolak itu. Sayangnya surat permohonan ijin oleh Pemprov DKI yang ditandatangani oleh Anies Baswedan itu diwarnai dengan istilah "salah ketik".
Sekda DKI Saefullah menyebut ada kesalahan ketik atau input pada rekomendasi dalam surat izin yang diajukan ke Kementerian Sekretariat Negara. Menurut laporan megapolitan.kompas.com (14/2/2020) Kesalahan itu terkait rekomendasi penyelenggaraan Formula E di kawasan Monas, Jakarta Monas. Rekomendasi harusnya diberikan oleh Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta. Namun, dalam surat Anies ditulis bahwa rekomendasi diberikan oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta.
Kok bisa begitu ya?
Itulah pembelaan Saefullah untuk Anies untuk kesekian kalinya. Seperti dilaporkan oleh news.detik.com (14/2/2020) Saefullah mengaku belum mengetahui jelas kesalahan tersebut. Menurutnya, pihak Biro Kepala Daerah memiliki kewenangan untuk menjelaskan masalah tersebut.
Kepada para wartawan Saefullah mengatakan begini, "Tanya Pak Mawardi (Kepala Biro Kepala Daerah) harusnya kalau ada kekeliruan naskah, salah input yang mengetik kali ya, diperbaiki saja. Tanya Mawardi ya,"
Ada apa dengan proses birokrasi di Pemda DKI? Apakah tidak ada staff yang mampu dan memahami bagaimana sebuah surat dibuat maupun konten yang berkaitan dengan proses perijinan seperti yang dikirim ke Menteri Sekretaris Negara sehubungan dengan ijin Formula E di Monas itu?
Sangat lucu jika tidak dilakukan cek dan ricek sebelum secarik surat penting ditandatangani oleh seorang gubernur. Pemda DKI juga punya biro hukum yang pasti punya orang yang bisa memberikan pertimbangan hukum sebelum membuat surat yang sangat penting.
Di masa lalu Jakarta sering disebut sebagai barometer untuk provinsi lain di Indonesia. Mungkin Kota Surabaya yang dipimpin oleh seorang walikota lebih tepat disebut sebagai barometer untuk Indonesia untuk proses birokrasi yang transparan. Sudah banyak kota lain yang belajar kepada Tri Risma Harini atau Bu Risma tentang bagaimana sebuah kota harus ditata dengan pengelolaan yang yang profesional, bukan hanya dengan rangkaian kata-kata.
Kiranya peristiwa "salah ketik" itu yang sempat dianggap sebagai kebohongan publik oleh Ketua DPRD DKI, haruslah menjadi kejadian terakhir kali, apalagi Gubernur Anies Baswedan didampingi para ahli yang disebut TGUPP yang berjumlah 67 orang, lalu dikurangi menjadi hanya 50 orang, namun anggaran untuk mereka adalah tetap.
Pada saatnya akan tiba bahwa Jakarta tidak lagi berstatus sebagai Ibukota NKRI karena dipindahkan oleh Presiden Jokowi ke Kalimantan Timur, namun Jakarta adalah tetap berfungsi sebagai kota perdagangan, jasa keungan, bisnis dan pariwisata. Seperti Sydney di Australia, meskipun ibukota negeri Kangguru itu adalah Canberra, namun Sydney adalah kota terbesar di benua itu dan merupakan kota keuangan dan bisnis ternama di belahan bumi selatan sebagaimana halnya New York di Amerika Serikat.
Jakarta selalu punya peluang untuk menjadi kota yang membuat warganya bangga bukan hanya menikmati kebahagiaan semu.
Warga Jakarta berhak memiliki pemimpin yang bukan saja cakap dalam retorika melainkan juga punya kompetensi yang mumpuni dalam menjalankan roda pemerintahan yang taat pada hukum yang berlaku untuk kesejahteraan warganya.
Tayangan tentang kesan warga tentang Gubernur Jakarta dari masa ke masa
Mungkin setelah kisah "Salah Ketik" ini ada pelajaran berharga untuk selalu mengingat rekam jejak dan kompetensi sebelum warga mengambil keputusan di bilik suara.
0 Comments
Leave a Reply. |
|