Setelah rezim orde baru tumbang Indonesia menikmati kebebasan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan secara langsung. Ini menarik karena rakyat bebas memilih, para pengamat serta warga pun bebas bersuara secara politik.
Namun kebebasan itu juga menghasilkan kebebasan yang kadang kala lebay, over dosis, kritik tanpa solusi. Kemajuan teknologi di bidang sosial media membuat para netizen atau warganet juga membuat dunia maya ramai dengan ujaran kebencian dalam format meme, video, foto dan cuitan yang sangat heboh. Bahaya lain pun muncul. Perasaan warga jadi terbelah. Jurang pro dan kontra menimbulkan gesekan di akar rumput.
Kebebasan di era demokrasi setelah reformasi 1998 bagaikan golok bermata dua, para pengamat dan kritikus dadakan bermunculan bagaikan virus di media utama, media online dan tentu saja di media sosial. Kritikan berseliweran namun hampir pasti tanpa disertai solusi. Para politikus yang duduk di parlemen maupun yang belum dapat kursi sering menjadi pemukul gong yang menimbulkan kegaduhan.
Semua kehebohan itu punya tujuannya masing-masing entah untuk membuat panggung baru, mencuri panggung atau menjadi pendukung seorang tokoh secara membabi buta. Sementara itu ada begitu banyak jempol yang bergerak begitu cepat melebihi kecepatan mobil balap Formula E, sehingga dunia maya semakin panas yang membakar dunia nyata.
Ternyata jempol dan jari jari telah menjadi pembawa virus baru yang sangat membahayakan semangat Bhineka Tunggal Ika yang berdasarkan Persatuan Indonesia atau Pancasila. Otak dan pikiran yang seharusnya bisa direm oleh akal budi maupun perasaan gotong royong rupanya begitu sulit untuk dilaksanakan untuk menjaga Indonesia supaya terbebas dari penyakit kebencian dan terbelahnya persaudaraan di bumi Nusantara ini.
Meskipun sudah banyak orang yang telah diperiksa berjam jam di kantor polisi, bahkan sudah banyak yang masuk ruang tahanan di penjara sebagai narapidana, ternyata masih ada saja yang gatal untuk memerintah jempolnya untuk memforward hoax yang mereka terima di smartphone mereka yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang tega untuk menyebarkan penyakit kebencian dan kebohongan kepada publik.
Sering dibilang bahwa masyarakat Indonesia adalah terdiri dari individu yang ramah tamah, suka gotong royong untuk menolong sesama, bahkan dinilai masyarakat dunia sebagai masyarakat yang religius. Apakah nilai nilai kemanusiaan di Indonesia yang begitu indah karena didukung kearifan lokal yang sudah ada ratusan tahun ini sudah luntur, sehingga tidak mampu untuk mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatan untukk tetap menjaga indahnya persatuan serta persaudaraan di antara kita.
Jika ada lagu religi supaya kita menjaga hati, maka di saat virus Corona atau Covid-19 ini sedang dilawan dengan kerja keras semua pihak, baik oleh pemerintah pusat dan daerah serta para relawan, dokter, para medis, polisi, tentara dan tentu saja warganet, maka sangat bagus untuk menjaga jempol kita masing-masing untuk tidak terlalu cepat untuk memforward hoax apalagi sengaja memerintahkan jempol kita untuk merancang hoax serta ujaran kebencian itu sendiri. Ingat kata Cak Lontong: Mikiiirr .....
Daripada terkena masalah hukum gara-gara menyalahgunakan jempol, yuk tertawa ngakak sejenak bareng Cak Lontong.
Jika anda ingin teman-teman serta saudara-saudara kita yang lain di seluruh dunia ikut tertawa, yuk gunakan jempol masing-masing untuk memforward artikel ini.
0 Comments
Leave a Reply. |
|