Selain mempunyai insting, manusia memiliki keunggulan unik yang tidak ada pada mahkluk lain, yaitu imajinasi dan kecerdasan intelektual untuk mengekspresikan "rasa" yang ada pada hati dan pikirannya. Ekspresi itu bisa kita lihat dan rasakan dalam bentuk seni suara, musik, seni rupa, karikatur, sastra, film, video, arsitektur, busana, kuliner, dan penyampaian opini serta unjuk rasa. Kebebasan mengutarakan ekspresi dalam berbagai bentuk sudah diperjuangkan umat manusia sejak ribuan tahun dan masih berlangsung sampai sekarang di jaman digital ini.
Berkat adanya kebebasan dalam berekspresi manusia menikmati berbagai keindahan rasa dan karsa, sehingga ada rasa bahagia dan kelezatan lain yang kadang kala sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sayangnya ujung dari kebebasan tersebut membuat manusia lain, komunitas di luar dirinya atau sebuah bangsa dan penganut agama serta keyakinan yang berbeda menjadi tidak nyaman.
Adakah limitasi dalam Freedom of Expression?
Perasaan tersinggung yang mungkin dimulai dari segelintir orang akan menyulut mereka yang sebelumnya hanya menyimpan rasa marahnya dalam hati. Terjadilah peristiwa yang akhirnya mengancam makna dari kebebasan itu sendiri. Bukan hanya hati yang terluka, ragapun bisa terluka parah, bahkan mengakibatkan kematian yang tidak perlu.
Ada berbagai profesi dan hobby yang menuntut kebebasan dalam berekspresi atau Freedom of Expression seperti para seniman, jurnalis, content creator, pengamat politik, pegiat hak asasi manusia, LSM, dan sebagainya. Harus diakui bahwa banyak hasil karya sastra, lukisan, film, lagu, laporan para wartawan, ahli ekonomi, penulis kolom, blogger, seniman karikatur, pegiat LSM, politisi yang mampu mengubah kondisi sebuah negara menjadi lebih baik. Itu bisa terjadi sebagian karena ada Freedom of Expression.
Kebebasan seperti itu tidaklah bisa dinikmati di negara-negara yang masih dijalankan dengan konstitusi yang yang membatasi kebebasan berekspresi khususnya dalam politik secara ketat. Indonesia bisa dikatakan beruntung karena berekspresi masih bisa dilakukan lebih bebas daripada di Korea Utara, Tiongkok, Turki, Iran dan beberapa negara di Timur Tengah.
Sayangnya kebebasan dalam berekspresi itu sering menimbulkan benturan yang mengganggu orang banyak. Freedom of speech ternyata wujudnya berupa ujaran kebencian (hate speech) yang diramu dengan fake news dan hoax. Social media pun digunakan dengan riang gembira untuk meramu kebebasan yang tidak bisa dirasakan di negara-negara tersebut di atas.
Kalau ada pihak yang merasa dirugikan melapor ke kantor polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE, maka orang yang mengumbar hate speech itu - entah di twitter, YouTube, facebook atau Instagram - setelah beberapa waktu akan minta maaf. Sepertinya minta maaf dengan modal meterai Rp 6000 adalah pemanis untuk mengucapkan minta maaf yang sering disertai dengan ekspresi penyesalan. Bila perlu menangis dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya itu. Ini dilakukan agar tidak diproses di meja hijau karena takut menempati kamar hotel prodeo.
Yang menyedihkan adalah bila ada organisasi masyarakat (ORMAS), politisi, pengamat dan influencer yang ikut membela kebebasan ekspresi yang kebablasan itu. Berbagai acara talk show di televisi nasional dan panggung media sosial pun ramai beberapa hari untuk mengulas itu.
Lucunya nara sumber yang diundang untuk talk show tidak jarang adalah para tokoh yang tidak punya keahlian di bidang yang sedang hangat dibicarakan. Producer acara senang menampilkann mereka karena "keberanian" mereka berbicara. Istilahnya blakblakan saat berdebat. Terjadilah debat kusir yang diwarnai saling potong antar pembicara. Ternyata peminat acara semacam itu sangat banyak, sehingga para pemasang iklan pun berebut slot iklan di televisi karena rating acara tersebut sedang melambung.
Kenapa kebebasan berekspresi itu selalu diselewengkan atas nama demokrasi?
Ada banyak kepentingan yang "membela" itu semua seperti kepentingan politik, bisnis atau kelompok tertentu untuk melindungi kepentingan tertentu apapun itu namanya. Apakah dunia harus berputar dengan cara vulgar dan cendrung menyakitkan yang sangat mungkin merusak kemanusiaan itu sendiri? Bukan tidak mungkin ekspresi yang disampaikan dengan cara-cara yang melanggar etika dan kearifan budaya lokal Nusantara, suatu saat akan mengancam kebebasan yang sudah dijamin oleh konstitusi di Indonesia.
0 Comments
Leave a Reply. |
|