Kemajuan teknologi dan ekonomi yang sudah dicapai puluhan tahun oleh sebuah negara sering membuat warga di negara berkembang berdecak kagum dan mengagumi kemajuan tersebut. Produk dan jasa yang dipasarkan negara-negara tersebut pun dibeli dan dinikmati dengan perasaan bangga. Dengan mudah kita akan melihat banyak orang mengenakan atribut atau pakaian bernuansa asing. Fenomena ini bukan hal aneh.
Ketika mendapat kesempatan belajar, bekerja atau sekadar berwisata ke beberapa negara maju tersebut, kadangkala orang mulai merasa minder dengan kondisi di tanah airnya, bahkan tidak lagi merasa bangga dengan jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Negara sendiri pun akhirnya dibanding-bandingkan dengan kemajuan bangsa lain, namun dengan narasi yang meremehkan bangsa sendiri.
Seperti halnya Candi Prambanan yang tidak bisa dibangun dalam satu malam, peradaban serta kemajuan sebuah bangsa tidak bisa diwujudkan hanya dengan kerja keras dan memperdalam ilmu pengetahuan canggih, melainkan harus dibarengi dengan semangat untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya yang diwariskan nenek moyang kita dari sejak jaman dahulu kala.
Korea Selatan, Jepang, Tiongkok dan umumnya negara-negara di Eropa sangat bangga dengan seni budaya serta kearifan lokal yang mereka warisi dari para leluhur mereka. Seni budaya dalam berbagai format, apakah itu sastra, seni arsitektur, tari-tarian, pakaian tradisional, lagu-lagu, musik, lukisan, seni pahat (patung) dan sebagainya dihargai sedemikan rupa, dan dijadikan sebagai aset bangsa mereka yang dinilai begitu tinggi.
Bukan hanya orang Indonesia, ternyata orang Amerika dan jutaan orang di dunia termehek-mehek dan terlena menyaksikan drama Korea (Drakor) serta mendengarkan musik K-Pop setiap harinya. Inilah bukti bagaimana bangsa dan para pemimpin di Korea Selatan menyadari sepenuhnya bahwa seni budaya mereka, termasuk kuliner mereka adalah aset yang bernilai tinggi, selain produk teknologi dan otomotif mereka. Korea Selatan meraup milyaran US Dollar setiap tahunnya dari industri kreatif mereka selain produk teknologi mereka seperti smartphone dan produk elektronik lainnya.
Indonesia pun memiliki aset budaya bangsa (tak benda atau intangible) yang luar biasa nilainya. Sayangnya bangsa besar ini hanya bersikap reaktif ketika tarian, kuliner atau batik Indonesia diklaim bangsa lain, misalnya oleh Malaysia. Perasaan marah itu kurang dibarengi dengan aksi untuk nyata untuk membangkitkan aset warisan agung para leluhur menjadi aset yang bisa diubah menjadi jasa atau produk kreatif yang bernilai ekspor seperti dilakukan Korea Selatan, Jepang atau bangsa lainnya.
Potensi seni budaya yang sangat besar ini ternyata menjadi perhatian JokPro, sebuah komunitas yang dipimpin oleh Baron Danardonwo Wibowo. Menurut keterangan Baron Danardono Wibowo, melalui aksi SOBER, setiap aksi yang dilakukan JokPro2024 selalu ditampilkan tari-tarian dari berbagai daerah yang merupakan warisan adiluhung Nusantara sejak jaman dahulu.
Dalam penjelasannya kepada media, Baron yang juga pemerhati sosial politik ini menegaskan bahwa jati diri bangsa Indonesia akan semakin kuat, bahkan akan menjadi negara maju dan kuat apabila bangsa Indonesia tetap bangga dan mau melestarikan seni budaya bangsa, yang bahkan bisa menjadi aset besar untuk membangun ekonomi kreatif, sehingga para seniman, budayawan serta warga mendapat manfaat nyata untuk kesejahteraan Indonesia.
Pada kesempatan ini kita bisa menyaksikan Tari Piring, sebuah tarian yang berakar pada adat istiadat dan budaya Minangkabau, Sumatera Barat yang sangat rancak dan bersemengat. Inilah sebuah persembahan dari Komunitas JokPro 2024, yang rutin ditampilkan di Silang Monumen Nasional, Jakarta.
Bangsa yang besar dan beradab adalah bangsa yang mencintai, melestarikan dan mengembangkan seni budayanya sendiri.
0 Comments
Leave a Reply. |
|