Istilah Golongan Putih alias Golput muncul pada jaman Orde Baru sebagai tanda capek hati pada "demokrasi Pancasila" di era pemerintahan Suharto, dimana para pemenang Pemilu sudah diketahui. Komunitas Golput yang tanpa bentuk saat itu (maklum belum ada WA Group) terdiri dari para mahasiswa dan kaum intelektual serta sedikit orang berprofesi lain.
Yang tidak berani ikut pada kelompok Golput ini adalah anggota keluarga Pegawai Negeri Sipil atau PNS, para guru negeri dan yang berafiliasi dengan pemerintah saat itu.
Euforia kebebasan setelah tumbangnya rezim Suharto sempat membuat Golput berkurang karena ada harapan pada transparansi pada jalannya Pemilu. Namun, kelompok orang yang Golput selalu ada. Mereka terdiri dari orang yang memang selalu pesimis, skeptis dan tidak peduli tentang makna serta akibat dari sebuah Pemilu, baik pemilihan anggota DPR, DPD, kepala daerah ataupun presiden.
Di antara mereka ada juga yang enggan ngantre di TPS karena alasan ekonomi seperti pedagang di sektor informal yang punya pendapatan sangat tergantung pada aktivitas rutin mereka. Begitu pula para perantau yang enggan nyoblos pada Pilkada di kampungnya karena ongkos pergi pulang tidak cukup. Mereka lebih memilih pulang kampung pada saat hari raya untuk family reunion sambil berhari raya ketimbang nyoblos di TPS.
Pada dasarnya jumlah Golput bisa berkurang banyak jika semua pemangku kepentingan pada setiap pemilu menunjukkan sikap yang jujur, transparan dan tidak main-main dalam setiap tahapan pemilu, entah itu Pilkada maupun Pilpres.
Ternyata alasan untuk Golput bukan hanya karena masalah yang dianggap masih terjadi pada persiapan dan tahapan pemilu, melainkan juga karena para para peserta Pemilu itu sendiri. Calon kelompok Golput ini tidak begitu percaya dengan kredibilitas peserta pemilu baik para calon legislatif (caleg), calon kepala daerah bahkan tidak percaya pada visi misi serta program yang ditawarkan oleh partai maupun calon kepala daerah atau para capres.
Alasan untuk Golput bisa bermacam-macam, terutama terjadi di kalangan usia muda. Mereka enggan percaya pada golongan mapan. Perilaku elite politik yang sering nyeleneh, yang hanya pandai mengolah kata dengan semangat mengkritik namun tanpa solusi juga sangat memuakkan kaum muda, yang belakangan ini dikenal dengan istilah generasi Z atau kaum milenial.
Setelah heboh Pilpres 2019 dan pemilu serentak yang heboh itu, maka menjelang Pilkada serta Pilpres 2024 yang akan datang sudah seharusnya para elite politik, pengurus Parpol juga para pejabat termasuk semua Ormas yang berafiliasi kepada partai dan peserta pemilu untuk menunjukkan etika dan perilaku yang lebih baik walaupun belum berjiwa negarawan.
Belum hilang dari ingatan kita pada Pilkada Jakarta 2017 yang sangat panas itu, ternyata ada anak muda yang tergolong sebagai generasi milenial (Z generation) yang memilih untuk Golput saja daripada memilih Anies Sandi, Ahok Djarot atau Agus Silvy. Pada tayangan berikut ini anda akan mengetahui alasannya. Serta apa yang terjadi pada Pilpres 2019 maupun bayangan pilihan anak muda ini pada Pilpres 2024.
Menjadi Golput mungkin adalah sebuah hak, dan ada alasan pembenar dari mereka yang melakukan hal ini, apapun itu alasannya. Bagaimana pendapat anda setelah menyaksikan tayangan tersebut?
Memilih dan dipilih adalah hak, begitu pernyataan undang-undang dasar di Indonesia. Namun belum ada aturan yang menyatakan bahwa memilih bukan sekadar hak melainkan adalah sebuah kewajiban, sehingga jika tidak mencoblos atau mencontreng di TPS pada saat Pemilu akan dikenakan denda. Apakah perlu ada peraturan seperti itu ada di Indonesia?
0 Comments
Leave a Reply. |
|