Dua momen dari dua kamera berbeda, dan banyak lagi dari kamera lain yang mengabadikan peristiwa bersejarah antara SBY dan Megawati ini sebagai simbol rekonsiliasi secara pribadi dan nasional (Foto: suara.com pada foto kanan & kabar24.bisnis.com pada foto kiri).
Barangkali benar bahwa semangat berdemokrasi secara langsung belum dijiwai keikhlasan menerima kemenangan dan keberanian mengakui kemenangan pihak "lawan". Namun "alam semesta" selalu memberikan pertanda dan simbol untuk mengingatkan kita, meskipun harus melalui peristiwa yang membuat sedih.
Kepergian Ibu Negara RI ke 6, Ibu Ani Yudhoyono telah mempertemukan Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab dipanggil SBY dengan Megawati Sukarno Putri, Presiden RI ke 5 pada pemakaman Ibu Ani, istri SBY di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pertemuan tersebut bukan saja mengharukan karena dalam suasana duka, melainkan telah menjadi simbol "rekonsiliasi" SBY dengan Megawati yang sepertinya "sulit" untuk bertemu dalam suasana yang lebih normal. Namun kepergian mantan ibu negara, Ani Yudhoyono telah mempertemukan mereka dengan bersalaman dan senyum penuh empati dari Megawati terhadap SBY yang sedang berduka.
Sementara itu, Presiden Ir Joko Widodo alias Jokowi yang sejak 17 April 2019 beberapa jam setelah munculnya quick count di televisi yang menunjukkan perolehan suara untuk kemenangan Jokowi-Amin - ingin bertemu dengan Prabowo Subianto untuk memulai rekonsiliasi. Tujuan pertemuan itu minimal untuk mendinginkan suasana politik yang sebelum dan selama kampanye berlangsung adalah sangat panas dengan berbagai peristiwa yang tidak mencerminkan ciri peradaban bangsa Indonesia yang luhur.
Sayang sampai saat ini pertemuan antara Prabowo dan Jokowi belum terjadi, yang sangat disayangkan pula diwarnai dengan peristiwa kerusuhan 21 & 22 Mei 2019, sampai akhirnya Prabowo Sandi mengajukan gugatan atas hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi.
Biarlah proses hukum di MK berlangsung sesuai pertaturan perundang-undangan dan etika hukum serta politik kebenaran yang sejati, namun di Hari Raya Idul Fitri ada makna dan simbol yang bisa diejawantahkan secara tulus oleh para elite politik.
Kembali Ke Fitri. Kembali Ke Persatuan Indonesia "
Sangat indah jika rakyat bisa melihat Prabowo & Jokowi bertemu dalam suasana akrab seperti ini, bukan hanya dalam makna simbol politik, melainkan menjadi nyata demi Persatuan Indonesia. Mereka bisa memilih ngopi bareng atau berkuda sambil menikmati udara pegunungan dalam tawa akrab. Rakyat pun adem lagi. (Foto kiri: liputan6.com, Foto kanan: jawapos.com)
Alangkah eloknya jika ada pertemuan antara Jokowi dan Prabowo sambil makan ketupat dan opor ayam dalam suasana Idul Fitri. Mereka saling maaf memaafkan sebagaimana layaknya ritual di Hari Lebaran. Mereka juga bisa memanfaatkan momen suci ini untuk rekonsiliasi sekaligus memaknai sejatinya pesan moral dari Hari Raya Idul Fitri.
Jika para elite politik mampu menunjukkan keteladanan, maka warga Indonesia yang pada umumnya sangat hormat pada teladan yang ditunjukkan para pemimpinnya, pasti akan merasa lega dan "move on" dengan normal untuk bersatu setelah terbelah dalam perbedaan pilihan politik.
Rakyat sangat menantikan suasana Indonesia damai dalam Persatuan Indonesia sejati yang berdasarkan warisan para leluhur yang kita bisa lihat pada butir-butir Pancasila berdasarkan UUD '45.
Jika artikel sederhana ini penting untuk diketahui para sahabat, maka penting pula untuk dibagikan dalam suasana Idul Fitri yang indah ini.
0 Comments
Pada saat menjelang kampanye Pilpres 2019 dan berlanjut sampai akhir kampanye, topik tentang infrastruktur heboh bukan hanya di media mainstraim, melainkan juga di media sosial seperti facebook, twitter dan YouTube.
Ada pro kontra tentang penting dan kurang pentingnya infrastruktur seperti airport, pelabuhan laut, jembatan, bendungan, dan terutama jalan tol yang menjadi bahan perbincangan paling heboh. Pihak yang kontra mengatakan bahwa pembangunan jalan tol tidak terlalu penting, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka tidak makan aspal, tidak memiliki mobil untuk melewati jalan tol, dan kritik tajam lainnya. Sementara itu pihak yang pro tentu sangat mendukung Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk membangun jalan raya atau jalan tol untuk mobilitas orang, distribusi barang, dan tentu saja bertujuan untuk mempersingkat waktu perjalanan.
Jika kembali menengok sejarah bangsa dan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Tiongkok, Eropa Barat dan sebagainya, maka infrastruktur seperti jalur rel kereta api dibangun dari ujung ke ujung di negara seperti Amerika Serikat sejak jaman wild west (era cowboy), di saat negeri Paman Sam masih muda belia, bahkan di kala itu USA sedang memulai demokrasi bebas, hanya dengan dua partai. Sejak negara penghasil film, musik dan teknologi angkasa luar ini berdiri, jalan raya (highway) di bangun dari east coast sampai west coast, sehingga negara yang luas itu terhubung sampai era digital ini.
Dengan infrastruktur yang terstruktur dan masif, sebuah negara akan lebih mudah untuk melakukan banyak hal. Para petani dan nelayan sangat senang karena hasil pertanian, ternak, ikan laut dan produk turunannya lebih cepat terdistribusi. Kegiatan ekonomi, seni, budaya, pendidikan dan hubungan antar warga negara pun sangat mudah dilakukan, sehingga persatuan dan kesatuan suatu negara lebih mudah dijalin tali silahturahminya.
Tradisi mudik bukan hanya keunikan Indonesia
Para perantau di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada saat hari libur besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru sangat banyak yang pulang kampung atau mudik. Ada banyak sarana untuk mudik seperti lewat udara, laut dan tentu saja lewat darat. Ternyata di Amerika Serikat dan Tiongkok juga sangat heboh ketika terjadi hari raya besar.
Saat liburan Thanksgiving ada ratusan ribu mobil, mungkin jutaan kendaraan melewati jalan raya (highway) di Amerika Serikat, juga saat hari Natal. Begitu pula pada saat Hari Raya Imlek, jutaan warga Tiongkok juga mudik ke kampung halaman masing-masing dari Beijing, Shanghai, dan kota-kota besar lainnya di dataran China.
Barangkali anda sering melihat video tentang masifnya pembangunan infrastruktur di berbagai kota dan pedesaan di Tiongkok, baik pembuatan rel kereta api, terowongan yang panjangnya ratusan kilo meter, bahkan menembus perbukitan, bawah laut, dan sebagainya. Lapangan terbang serta jalan raya pun di bangun dalam waktu cepat dengan biaya triliunan dollar.
Tiongkok memiliki ambisi besar untuk menyaingi raksasa ekonomi dunia, baik Jepang maupun Amerika Serikat. Teknologi digital pun dibangun sangat serius oleh Tiongkok. Menguasai dunia tidak selalu harus dengan tentara dan angkatan bersenjata yang besar. Dengan serius mengembangkan teknologi Internet, dan produk digital, perekonomian bisa dibangkitkan dengan cepat, masif dan terstruktur.
Presiden Jokowi sangat menyadari pentingnya infrastruktur dan keunggulan teknologi digital, yang sering disebut sebagai industry 4.0. Tanpa infrastruktur yang mumpuni dan dukungan teknologi, Indonesia akan tertinggal, bahkan di negara ASEAN. Padahal Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.
Jakarta sangat beruntung karena pernah punya Jokowi sebagai gubernur DKI, sehingga kini sudah punya MRT (Moda Raya Terpadu). Apakah Jokowi nekad ketika membangun MRT? Tapi baiklah, ayo kita saksikan kesan warga Jakarta tentang keberadaan MRT di Jakarta.
Mudik tahun 2019 ini bisa menjadi indikasi yang akan membuktikan bahwa infrastruktur sangat penting. Bayangkan jika pelabuhan laut dibiarkan seperti jaman old, bandara tidak direnovasi dan ditambah fasilitasnya atau diperluas. Begitu pula jika jalan raya, jembatan dan infrastruktur lainnya "nggak usah" dibangun, maka Indonesia akan batal menjadi negara kuat dan maju pada 2030 atau 2045.
Untunglah Jokowi pada periode kedua nanti akan banyak berfokus pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bukan hanya infrastruktur, sehingga Indonesia pun akan siap maju dengan industry 5.0 dengan satelit baru, sehingga kita bisa beranjak dari 4G ke 5G.
Omong-omong, anda akan mudik lewat mana? Udara, laut atau jalan tol?
|
|